Entri Populer

Minggu, 05 Juni 2011

Perilaku Agresif

EFEKTIFITAS LAYANAN KONSELING KELOMPOK DALAM
MENGURANGI PERILAKU AGRESIF SISWA KELAS VIII
SMP HASANUDDIN 10 SEMARANG
TAHUN PELAJARAN 2010/2011

Proposal Skripsi


diajukan oleh
Muh Klasin
NPM 07110317


PENDIDIKAN PSIKOLOGI DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
IKIP PGRI SEMARANG
2011

HALAMAN PENGESAHAN
Kami selaku pembimbing I dan pembimbing II dari mahasiswa IKIP PGRI Semarang:
Nama : Muh Klasin
NPM : 07110317
Fakultas/ Jurusan : FIP PPB
Judul : Efektifitas layanan konseling kelompok dalam
mengurangi perilaku agresif siswa kelas VIII SMP
Hasanuddin 10 Semarang Tahun pelajaran 2010/2011
Tahun Pelajaran 2010/2011
Dengan ini menyatakan bahwa proposal skripsi yang dibuat oleh mahasiswa tersebut di atas telah selesai dan siap di tindak lanjuti.
Semarang, ………………………

Pembimbing I

Prof. Dr. AY. Soegeng, Y. Sh
NIP. 19430227 1981031 0001
Pembimbing II

Agung Prasetyo, S.PSi, M.Pd
NPP: 046901158


A. Latar Belakang
Sekolah merupakan pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak remaja. Selama mereka menempuh pendidikan formal disekolah terjadi interaksi antara remaja dengan sesamanya, termasuk interaksi antara remaja dengan pendidikan. Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat sampingan yang negatif bagi perkembangan mental anak remaja. Dewasa ini pemerintah Indonesia melalui kementerian pendidikan nasional selalu menginstruksikan pentingnya pendidikan karakter anak demi terwujudnya kota layak anak. Wujud dari instruksi tersebut adalah dilaksanakannya pendidikan dan pembimbingan anak dari segi karakter dan sikap baik secara individu atau kelompok. Dalam hal ini peran guru bimbingan dan konseling mempunyai posisi strategis untuk melaksanakan kegiatan tersebut, mengingat seorang guru bimbingan konseling dapat masuk lebih dalam slah satunya dengan kegiatan layanan konseling individu maupun kelompok. Maka dari itu, dengan adanya posisi startegis ini diharapkan perilaku agresif di SMP Hasanuddin 10 Semarang dapat berkurang melalui kegiatan layanan konseling kelompok.
Menurut Sudarsono (2008: 130), terdapat pengaruh negatif dan positif yang timbul di sekolah, anak-anak yang memasuki sekolah tidak semua berwatak baik, dalam sisi lain anak-anak yang masuk sekolah ada yang berasal dari keluarga yang kurang memperhatikan kepentingan anak dalam belajar yang kerap kali berengaruh pada teman lain. Sesuai dengan keadaan seperti ini sekolah-sekolah sebagai tempat pendidikan anak-anak dapat menjadi sumber konflik psikologis yang menjadikan anak frustasi dan berperilaku agresif.
Kepesatan perkembangan konseling dipacu oleh makin meningkatnya konflik dan kecemasan dalam kehidupan sehari-hari yang diakibatkan oleh perubahan sosial, kultural dan ekonomi. Sehingga seringkali ditemukan perilaku-perilaku bermasalah dan agresif siswa atau peserta didik, perubahan pola keluarga, penerimaan masyarakat atas berbagai gaya hidup dan perubahan peranan pekerjaan. Sesuai dengan tujuan Pendidikan Nasional yakni membangun manusia Indonesia seutuhnya, maka upaya yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan generasi-generasi penerus bangsa yang kompetitif dan handal dalam menjalani tantangan hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut harus tercipta individu-individu yang sehat dan berperilaku baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara langsung oleh penulis, karena kebetulan penulis adalah seorang guru Bimbingan dan Konseling di SMP Hasanuddin 10 Semarang sejak tahun 2008, penulis menemukan dan melihat munculnya perilaku agresif siswa di sekolah tersebut. Perilaku agresif yang di lihat oleh penulis adalah bentuk tindakan perilaku bersifat verbal seperti menghina, memaki, marah, dan mengumpat. Sedangkan untuk perilaku agresif non verbal atau bersifat fisik langsung adalah perilaku memukul, mendorong, berkelahi, menendang, dan menampar. Perilaku menyerang, memukul, dan mencubit yang ditunjukkan oleh siswa atau individu bias dikategorikan sebagai perilaku agresif (Itabiliana, 2008: 17).
Secara khusus perilaku-perilaku tersebut menunjukan gangguan-ganguan yang disebabkan oleh proses belajar yang tidak semestinya, seperti gangguan mempelajari jenis-jenis kemampuan yang diperlukan seperti mencintai lawan jenis, memiliki konsep diri yang positif, atau terlanjur mempelajari bentuk-bentuk perilaku yang maladaptif misalnya, anak yang tumbuh menjadi remaja agresif karena meniru perilaku orangtua dan tekanan keadaan di dalam keluarga atau lingkungan yang tidak harmonis. Tugas tenaga pendidik adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan optimal yang sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh guru, konselor, dan tenaga pendidik lainnya sebagai mitra kerja.
Perilaku agresif dapat dipengaruhi oleh sifat egosentris, yaitu masih sulitnya memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain atau masih sulit berempati. Jadi individu tidak dapat memahami jika ia memukul atau menghina orang lain, orang tersebut akan merasa sakit. Individu juga mudah menjadi agresif jika kondisi fisiknya sedang tidak nyaman: lelah, lapar, menagntuk, atau sakit (Itabiliana, 2008: 18).
Dengan demikian, jika perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah tidak segera ditangani dapat menimbulkan gangguan proses belajar mengajar dan akan menyebabkan siswa cenderung beradaptasi terhadap kebiasaan buruk tersebut. Berdasarkan rambu-rambu pelaksanaan pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam jalur pendidikan formal terdapat pola pelayanan yang dapat dilaksanakan oleh guru Bimbingan dan Konseling untuk membantu mengembangkan setiap potensi siswa dan memberikan pencegahan dan pengentasan terhadap perilaku bermasalah yang dilakukan siswa sepertihalnya perilaku agresif.
Melihat kondisi ini penulis meggunakan metode layanan konseling kelompok untuk mengurangi perilaku agresif siswa di SMP Hasanuddin 10 Semarang karena pemberian konseling kelompok ditujukan untuk membantu peserta didik yang mengalami kesulitan, megalami hambatan dalam mencapai tugas-tugas perkembanganya. Sehingga dengan konseling kelompok ini individu mampu mengetahui akan potensi diri, penemuan alternatif pemecahan masalah dan pengambilan keputusan secara lebih tepat dan dapat mengurangi perilaku-perilaku bermasalah termasuk perilaku agresifnya.
Dalam layanan konseling kelompok terdapat dinamika kelompok yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agesif yaitu, mereka dapat mengembangkan berbagai ketrampilan yang pada intinya meningkatkan kepercayaan diri dan kepercayaan orang lain seperti berani mengemukakan atau percaya diri dalam berperilaku terhadap orang lain, cinta diri yang dapat dilihat dari dalam berperilaku dan gaya hidupnya untuk memelihara diri, memiliki pemahaman yang tinggi terhadap segala kekurangan dan kemampuan dan belajar memahami orang lain ketegasan dan menerima kritik dan memberi kritik dan ketrampilan diri dalam penampilan dirinya serta dapat mengendalikan perasaan dengan baik.



B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, penulis menemukan bahwa terdapat siswa yang mempunyai perilaku agresif baik bersifat verbal maupun nor verbal (fisik langsung). Dari temuan tersebut penulis menjadikanya sebagai temuan masalah yang akan diteliti dengan menggunakan layanan konseling kelompok yang merupakan salah satu jenis layanan kegiatan bimbingan dan konseling dengan harapan perilaku tersebut dapat berkurang frekuensinya.

C. Pembatasan Masalah
1. Batasan jumlah
Dari segi jumlah penulis membatasi jumlah subyek penelitian adalah siswa kelas VIII di SMP Hasanuddin 10 Semarang yang berjumlah 102 siswa.
2. Batasan tempat
Penulis membatasi tempat dilaksanakannya penelitian adalah di SMP Hasanuddin 10 Semarang tepatnya di Jl. Sedayu Tugu Sembungharjo Genuk Semarang.
3. Batasan waktu
Untuk batasan waktu, penulis menentukan selama tiga bulan waktu minimal terhitung sejak disetujinya proposal penelitian yang diajukan. Dan batasan waktu maksimal sampai berakhirnya kegiatan belajar mengajar semester genap yakni bulan Juni 2011. Hal ini di dasarkan pada kalender akademik sekolah dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dilapangan yang dapat menghambat proses penelitian.
4. Batasan sudut pandang
Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah dari sudut pandang psikologis dan sosial. Ditinjau dari aspek psiklogis bahwa sesungguhnya keberadaban manusia ditandai secara signifikan antara lain oleh bagaimana manusia mengolah kecenderungan angresif dan kekerasan yang ada dalam jiwanya menjadi wujud-wujud perilaku beradab yang bersifat kreatif (menumbuhkembangkan kehidupan) dan tidak lagi bersifat destruktif atau mematikan kehidupan (Anantasari, 2006: 52).
Sedangkan dari segi aspek sosial apabila sesorang harus memilih perilaku mana yang mesti dilakukan, maka pada umumnya yang bersangkutan akan memilih alternatif perilaku yang membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi yang bersangkutan. Dengan kemampuan memilih ini berarti faktor berpikir seseorang akan dapat melihat apa yang telah terjadi sebagai bahan pertimbangannya disamping melihat apa yang dihadapi pada waktu sekarang dan juga dapat melihat ke depan apa yang akan terjadi dalam bertindak.
Dengan demikian penulis memilih menggunakan layanan konseling kelompok dalam mengurangi perilaku agresif siswa sebab dalam layanan konseling kelompok memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk berinteraksi antar pribadi yang khas yang tidak mungkin terjadi pada layanan konseling individu atau perorangan. Interaksi sosial yang intensif dan dinamis selama pelaksanan layanan diharapkan tercapai tujuan-tujuan layanan yang sesuai dengan kebutuha-kebutuhan individu anggota kelompok tetap tercapai secara mantap.
Layanan dengan pendekatan kelompok dalam bimbingan dan konseling merupakan bentuk usaha pemberian bantuan kepada orang-orang yang memerlukan. Dari segi lain, kesempatan mengemukakan pendapat, tanggapan, dan berbagai reaksi dapat merupakan peluang yang amat berharga bagi perorangan yang bersangkutan. Kesempatan timbale balik inilah yang merupakan dinamika dari kehidupan kelompok yang akan membawakan kemanfaatan bagi para anggotanya (Prayitno, 1995: 23).

D. Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang permasalahan di atas maka rumusan masalah yang dirumuskan oleh penulis yaitu: “Sejauh manakah efektifitas layanan konseling kelompok dalam mengurangi perilaku agresif siswa kelas VIII SMP Hasanuddin 10 Semarang Tahun Ajaran 2010/2011”?.

E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menguji keefektifan layanan konsleing kelompok dalam mengurangi perilaku agresif siswa kelas VIII SMP Hasanuddin 10 Semarang.

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis
Secara teoretis penelitian ini mempunyai manfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka memperkuat ilmu psikologi terutama di bidang psikologi pendidikan, lebih khususnya bimbingan dalam menangani perilaku agresif siswa, supaya perilaku siswa di dalam lingkungan masyarakat, sekolah, dan keluarga dapat tumbuh dan berkembang lebih baik.
2. Manfaat praktis
a. Bagi lembaga pendidikan
Sebagai bahan masukan dalam rangka peningkatan pemberian layanan bimbingan bagi siswa. Selain itu juga dapat mengenalkan kepada siswa tentang arti pentingnya layanan bimbingan dan konseling di dalam lingkungan sekolah.
b. Bagi pengembangan ilmu
Menjadi masukan yang berguna untuk penelitian selanjutnya dan sekaligus sebagai masukan bagi guru pembimbing dalam rangka pengembangan bimbingan dan konseling.
c. Bagi siswa
Dengan dilaksanakanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengertian terhadap siswa khususnya tentang layanan konseling kelompok dan perilaku agresif. Sehingga dapat diketahui sejauh mana efektifitas layanan konseling kelompok dalam mengurangi perilaku agresif siswa.

G. Definisi Operasional
Variabel dalam penelitian ini yang akan dijelaskan adalah variabel bebas dan variabel terikat. Variabel tersebut adalah sebagai berikut: variebel bebas dalam penelitian ini adalah konseling kelompok, dan perilaku agresif siswa sebagai variable terikat.
1. Perilaku agresif
Perikau agresif adalah tindakan yang bersifat kekerasan, yang dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya. Dalam agresi terkandung maksud untuk membahayakan atau mencederai orang lain.
Bahaya atau pencederaan yang diakibatkan oleh perilaku agresif bias berupa bahaya atau pencederaan fisikal, namun pula bias berupa bahaya atau pencederaan nonfisikal, semisal yang terjadi sebagai akibat agresi verbal (agresi lewat kata-kata tajam menyakitkan). Contoh lain dari agresi yang tidak secara langsung menimbulkan bahaya atau pencederaan fisikal adalah pemaksaan, intimidasi (penekanan), dan pengucilan atau pengasingan sosial.
Perilaku agresif (suka menyerang) lebih menekankan pada suatu perilaku yang bertujuan untuk menyakiti hati atau merusak barang orang lain secara sosial tidak dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat. Berikut adalah bentuk-bentuk agresifitas, yaitu: (a) Agresi fisik aktif langsung; memukul, mendorong, berkelahi, menendang, dan menampar, (b) agresif verbal aktif langsung; menghina, memaki, marah, dan mengumpat.

2. Konseling kelompok
Layanan konseling kelompok merupakan hubungan khusus dimana klien merasa aman untuk berdiskusi tentang apa yang mereka khawatirkan dan menjengkelkan untuk mengerti apa yang mereka inginkan, melatih ketrampilan yang ada dalam diri sendiri dan untuk melatih tingkah laku yang mereka inginkan. Layanan konseling kelompok beranggotakan 6-10 orang. Lama pertemuan antara 40-60 menit tergantung dari permasalahan atau topik yang dibahas.
Proses pelaksanaan terdiri dari empat tahap yaitu tahap pembentukan yang berisi perkenalan penyampaian tujuan, azas-azas serta dengan permainan sebagai pengakraban, tahap peralihan yang berisi pemantapan dari para aanggota kelompok, tahap kegiatan yang berisi tentang pembahasan masalah atau topik yang terjadi dalam kelompok, dan tahap pengakhiran yang berisi penyampaiaan hasil konseling kelompok serta tanggapan dan saran dari para anggota kelompok. Peranan pemimpin kelompok di sini sebagai pengatur jalannya lalu lintas selama kegiatan konseling berlangsung.

H. Kajian Teori
1. Perilaku agresif
a. Pengertian perilaku agresif
Perilaku agresif dapat dikategorikan sebagai bentuk gangguan emosional, biasanya timbul karena ketidakmampuan individu menyesuaikan diri dengan lingkunganya, yang diwujudkan dalam bentuk perilaku agresif atau pemencilan dan penarikan diri. Keagresifan siswa merupakan kesalahan dalam penyesuaian diri, berbentuk kenakalan, kebrutalan, kekerasan, dan kemarahan (Sukmadinata, 2007: 413). Lingkungan peserta didik diwarnai dengan perilaku-perilaku agresif, sehingga agresifitas menjadi pola interaksi, terbentuk pada setiap anggotanya secara mekanistik, melalui pembiasaan.
Menurut Anantasari (2006: 63), pada dasarrnya perilaku agresif pada manusia adalah tindakan yang bersifat kekerasan, yang dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya. Dalam agresi terkandung maksud untuk membahayakan atau mencederai orang lain. Perilaku agresif juga dapat disebut sikap bermusuhan yang ada dalam diri manusia. Perilaku agresif diindikasikan antara lain oleh tindakan untuk menyakiti, merusak, baik secara fisik, psikis, maupun social. Sasaran orang yang berperilaku agresif tidak hanya ditujukan kepada musuh tetapi juga kepada benda-benda yang ada dihadapanya yang memberi peluang bagi dirinya untuk merusak.
Perilaku menyerang, memukul, dan mencubit yang ditunjukan oleh siswa bias dikategorikan sebagai perilaku agresif. Perilaku ini muncul karena siswa merasa frustasi menghadapi lingkungan yang sulit ia kendalikan atau tidak sesuai dengan keinginannya (Itabiliana, 2008: 17).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku agresif adalah perilaku seseorang yang diwujudkan dalam tindakan penyerangan secara fisik maupun non fisik terhadap orang lain yang dapat membahayakan atau mencederai orang lain. Perilaku agresif juga dapat disebut sikap yang bermusuhan yang ada pada diri manusia. Hal ini berarti bahwa tindakan atau perilaku menyakiti orang lain baik secara fisik maupun non fisik dan sosial dapat diindikasikan sebagai bentuk tindakan perilaku agresif.

b. Ciri-ciri perilaku agresif
Menurut Sukmadinata (2007: 414), perilaku-perilaku agresif dimanifestasikan keluar supaya dapat diamati oleh orang lain. Oleh karena itu, untuk menilai siswa memilki kecenderungan perilaku agresif atau tidak, guru atau konselor dapat mengidentifikasi dan melihatnya berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut: Siswa seringkali berbohong, walaupun ia seharusnya berterus terang, menyontek, meskipun seharusnya tidak perlu menyontek. Suka mencuri, atau mengatakan ia kecurian bila barangnya tidak ada. Suka merusak barang orang lain atau barangnya sendiri, melakukan kekejaman, menyakiti orang lain, berbicara kasar, menyinggung perasaan orang lain, tidak peduli pada orang lain yang membutuhkan pertolongannya, dan suka menggangu siswa lain yang lebih kecil atau lebih lemah. Serta seringkali marah-marah, uring-uringan, memukulkan kaki tangan, menangis dan menjerit.
Sementara itu menurut Anantasari (2006: 80, 90, 91, 107), ciri-ciri perilaku agresif sebagai berikut:
1) Perilaku menyerang; perilaku menyerang lebih menekankan pada suatu perilaku untuk menyakiti hati, atau merusak barang orang lain, dan secara sosial tidak dapat diterima.
Contoh; sikap anak yang mempertahankan barang yang dimiliknya dengan memukul.
2) Perilaku menyakiti atau merusak diri sendiri, orang lain, atau objek-objek penggantinya; perilaku agresif termasuk yang dilakukan anak, hamper pasti menimbulkan adanya bahaya berupa kesakitan yang dapat dialami oleh dirinya sendiri atau orang lain. Bahaya kesakitan dapat berupa kesakitan fisik, misalnya pemukulan, dan kesakitan secara psikis misalnya hinaan. Selain itu yang perlu dipahami juga adalah sasaran perilaku agresif sering kali ditujukan seperti benda mati. Contoh : memukul meja saat marah.
3) Perilaku yang tidak diinginkan orang yang menjadi sasaranya; perilaku agresif pada umumnya juga memiliki sebuah cirri yaitu tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasaranya. Contoh: tindakan menghindari pukulan teman yang sedang jengkel.
4) Perilaku yang melanggar norma social; perilaku agresif pada umumnya selalu dikaitkan dengan pelanggaran terhadap norma-norma sosial.
5) Sikap bermusuhan terhadap orang lain; perilaku agresif yang mengacu kepada sikap permusuhan sebagai tindakan yang di tujukan untuk melukai orang lain. Contoh: memukul teman
6) Perilaku agresif yang dipelajari; perilaku agresif yang dipelajari melalui pengalamannya di masa lalu dalam proses pembelajaran perilaku agresif, terlibat pula berbagai kondisi sosial atau lingkungan yang mendorong perwujudan perilaku agresif. Contoh: kekerasan dalam keluarga, tayangan perkelahian dari media.
Dilihat dari uraian pendapat diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa ciri-ciri perilaku agresif yaitu: perilaku atau tindakan menyerang, kekejaman, seringkali marah-marah, perilaku menyakiti atau merusak diri sendiri, orang lain atau objek-objek penggantinya, dan perilaku melanggar norma sosial sehingga menjadikan sikap bermusuhan terhadap orang lain, dan kerugian pihak yang menjadi korban perilaku agresif.

b. Faktor yang mempengaruhi perilaku agresif
Perilaku agresif pada anak agaknya cukup meresahkan apabila dilihat dari akibat yang mungkin ditimbulkanya. Perilaku agresif pada umumnya dipahami sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain. Perilaku ini termasuk salah satu perilaku yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial. Menurut Anantasari (2006: 92). Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku agresif tersebut antara lain oleh hal-hal berikut ini:
1. Frustasi; Secara umum, frustasi pada individu akan muncul ketika banyak terdapat harapan yang tidak terpenuhi. Frustasi ternyata berkaitan dengan agresi. Sebuah teori mengatakan bahwa agresi selalu merupakan konsekuensi dari frustasi dan frustasi selalu menimbulkan agresi. Oleh karenanya, situasi menekan dan tanpa harapan yang dialami anak sangat mungkin memicu terjadinya perilaku agresif.
2. Pembelajaran sosial dan hadiah; munculnya agresi juga diungkap oleh Bandura lewat teori belajar sosialnya. Teori ini mengungkapkan bahwa manusia belajar agresif dengan melihat model yang diidolakan, seorang anak akan menganggap dirinya mendapat hadiah atau menjadi hebat seperti tokoh yang diidolakan. Selain meniru pada model, perilaku agresif juga dapat muncul karena anak mendapat hadiah. Misalnya saja anak menjadikan perilaku agresif sebagai mekanisme yang akan selalu ia lakukan ketika lingkungan atau orangtuanya selalu memberikan apa yang diinginkan anak ketika melakukan perilaku tersebut.
3. Pengaruh kelompok; penyebab agresifitas berkaitan juga dengan pengaruh kelompok. Ketika seorang anak masuk dalam kelompok, ada kecenderungan untuk menaati peraturan yang dimiliki kelompok. Ketaatan ini akan diperjuangkan karena akan menghasilkan penerimaan, penghargaan, bahkan pengakuan. Ketaatan ini pada akhirnya juga muncul ketika anak dituntut untuk melakukan perilaku agresif.
4. Pengaruh lingkugan fisik; pengaruh lingkungan fisik yang buruk dalam banyak hal dapat menjadi faktor pemicu munculnya agresi. Misalnya saja lingkungan yang sangat bising dan panas dapat mendorong orang bertindak dengan cara-cara yang keras.

c. Pemicu terjadinya perilaku agresif
Perilaku agresif dapat terjadi karena dipicu oleh: (1) terpicu oleh hal kecil, (2) menyakiti teman, (3) untuk mencari perhatian (Anantasari, 2006: 23). Menurut Itabiliana (2008: 17-18), dalam keadaan frustasi, anak menjadi mudah terpicu untuk bereaksi secara fisik. Anak juga mudah menjadi agresif jika kondisi fisiknya sedang tidak nyaman: lelah, lapar, mengantuk, atau sakit.

d. Dampak perilaku agresif
Dampak buruk perilaku agresif bagi korban-korbanya meniscayakan kita selalu berupaya mengeliminasikan factor-faktor penyebab perilaku agresif. Dengan upaya tersebut diharapkan dapay meminimalkan terjadinya tindakan perilaku agresif. Menurut Anantasari (2006: 66), dampak buruk bagi korban perilaku agresif meliputi perasaan tidak berdaya korban, kemarahan setelah menjadi korban perilaku agresif, perasaan bahwa diri sendiri mengalami kerusakan permanent, ketidakmampuan memercayai orang lain dan ketidakmampuan menggalang relasi dekat dengan orang lain, keterpakuan pada pikiran tentang tindakan agresif atau kriminal. Hilangnya keyakinan bahwa dunia bias berada dalam tatanan yang adil.

e. Mengatasi perilaku agresif
Menurut Itabiliana (2008: 19), untuk menghilangkan perilaku agresif dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman pada anak bahwa perilaku agresifnya tidak dapat diterima. Perkenalkan anak terhadap akibat dari perilakunya tersebut. Misalnya, tidak boleh masuk kelas lagi kalau memukul teman. Sekecil apapun berikan perhatian besar terhadap perilaku yang positif, dengan demikian anak akan belajar perilaku mana yang diharapkan, dan perilaku perilaku mana yang ditolak oleh lingkungan sosialnya.
Menurut Anantasari (2006: 48), cara mengatasi perilaku agresif adalah dengan memberi empati, dorong anak untuk mencurahkan perasaanya, tanggapi dengan bijak, jangan terlalu melindungi, tumbuhkan percaya diri dan kembangkan kemampuanya, lakukan pengamatan, dan diskusikan dengan guru.
1) Beri empati; dorong anak untuk mencurahkan perasaannya, menjadi pendengar yang baik berarti mendengarkan secara aktif tidak hanya mendengarkan apa yang diucapkan, tetapi juga memperhatikan bahasa tubuhnya. Yang penting adalah usahakan untuk menunjukan empati dapat memahami perasaan atau situasi yang dihadapi anak. Dorong anak supaya mau mencurahkan isi hatinya. Yakinkan anak bahwa anda mendengar dan memahaminya dengan mengulang apa yang dikatakannya dan rumuskan kembali pernyataan anak.
2) Tanggapi secara bijak; tanggapan yang bijaksana, penuh empati, dan jauhdari kesan menginterogasi, akan mendorong anak untuk lebih terbuka. Jangan menaggapi cerita secara emosional dan terburu-buru memberi komentar dan saran, apalagi kalau sampai memarahinya.
3) Jangan terlalu melindungi; ajarkan pada anak untuk mengatasi masalahnya sendiri. Sikap selalu melindungi akan membuat terus bergantung dan kurang mengembangkan kemampuan untuk bersikap yang tepat bila menghadapi kejadian serupa. Berikan pertanyaan-pertanyaan yang membimbing dan alternatif tindakan yang dapat diambilnya, misalnya dengan mengatakan “menurutmu, sebenarnya kamu bisa berbuat apa?”.
4) Tumbuhkan percaya diri dan kembangkan kemampuanya; anak yang sering menjadi korban agresifisitas biasanya kurang mempunyai kepercayaan diri. Ia merasa inferior dibandingkan dengan seorang agresor sehingga merasa tidak berdaya menghadapinya. Tunjukkan kepada anak bahwa masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan.
5) Lakukan pengamatan; amati setiap perkembangan yang terjadi, tidak perlu terlibat langsung tetapi perhatikan bagaimana anak berinteraksi dengan temannya. Sediakan diri menjadi teman untuk mengadu dan mendapatkan rasa aman untuk mendorongnya dan ajak anak untuk mengevaluasi keadaan dirinya.
6) Diskusikan dengan guru; ada baiknya dari permasalahan yang dihadapi anak dapat didiskusikan dengan guru atau wali kelasnya apabila kejadianya disekolah. Mintalah bantuan guru untuk mengamati.

2. Layanan konseling kelompok
a. Pengertian layanan konseling kelompok
Layanan konseling kelompok merupakan salah satu layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Layanan konseling kelompok secara terpadu dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling disekolah merupakan upaya pemberian bantuan untuk dapat memecahkan masalah siswa dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Seperti halnya layanan bimbingan dan konseling, Layanan konseling kelompok juga memiliki keistimewaan dan keunggulan, keistimewaan dan keunggulan tersebut adalah dapat terciptanya interaksi secara langsung antar siswa atau anggota kelompok, sehingga tercipta suasana senasib dan sepenanggungan untuk mengatasi setiap masalah yang dihadapi.
Layanan konseling kelompok memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk beriteraksi antar pribadi yang khas yang tidak mungkin terjadi pada layanan konseling individu atau perorangan, interaksi sosial yang intensif dan dinamis selama pelaksanan. layanan diharapkan tujuan-tujuan layanan yang sesuai dengan kebutuha-kebutuhan individu anggota kelompok tetap tercapai secara mantap. Pada kegiatan konseling kelompok setiap anggota kelompok mendapat kesempatan untuk menggali setiap masalah yang dialami oleh anggota kelompok. Kelompok juga dapat dipakai untuk belajar mengekspresikan perasaan,menunjukan perhatian orang lain, dan berbagai pengalaman. Pendekatan instruksional merupakan pendekatan yang digunakan dalam layanan konseling kelompok dalam pendekatan ini menitik beratkan interaksi atau hubungan timbal balik antara anggota-angota dengan pemimpin kelompok dan sebaliknya yang akan nampak dalam dinamika kelompok. Menurut Prayitno (1995: 23) melalui dinamika kelompok setiap anggota kelompok diharapkan mampu tegak sebagai perorangan yang sedang mengembangka dirinya dalam hubungannya dengan orang lain ini tidak berarti bahwa diri seseorang lebih dimunculkan dari pada
kehidupan secara umum. Maksudnya adalah individu diharapkan mampu mengendalikan dan mengembangkan dirinya sendiri dalam suasana kelompok sehingga individu tersebut dapat berperan aktif dalam kelompok.

b. Hakekat layanan konseling kelompok
Konseling kelompok mentepakan salah satu layanan bimbingan dan konselig yang diselenggarakan di sekolah layanan. Konseling kelompok pada hakekatnya adalah wawancara, konseling antara konselor professional sebagai pemimpin kelompok utuk memecahkan masalah dengan pertimbangan pribadi para anggota kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Konseling kelompok bersifat memberikan kemudahan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu, dalam arti bahwa konseling, kelompok memberikan dorongan dan motivasi kepada individu untuk membuat perubahan-perubahan atau bertindak dengan memanfaatkan potensi secara maksimal sehingga dapat mewujudkan potensi diri.
Konseling kelompok dapat dijadikan sebagai media mengembangkan pribadi kedirian dan mementingkan kepentingan-kepentingan orang lain. Senada dengan apa yang dikatakan Prayitno (1995: 24) layanan konseling kelompok seharusnya menjadi tempat pengembangan sikap ketrampilan dan keberanian sosial yang bertenggang rasa.

c. Fungsi Layanan Konseling Kelompok
Fungsi layanan konseling kelompok yang paling utama adalah kuratif atau pengentasan masalah tetapi ada fungsi-fungsi yang lain. Menurut Sukardi (2000: 453), konseling kelompok tidak hanya merupakan pertolongan yang, kuratif dan prefentif tetapi dapat juga bersifat perseveratif klien dapat melaksanakan fungsinya di masyarakat mungkin dalam bentuk pengalaman hidupnya.

d. Tujuan layanan konseling kelompok
Menurut Winkel (1997: 544) tujuan layanan konseling kelompok yaitu:
1) Masing-masing anggota kelompok memahami dirinya dengan baik dan menemukan dirinya sendiri. berdasarkan pemahaman diri itu dia lebih rela menerima dirinya sendiri dan lebih terbuka terhadap aspek-aspek positif dalam kepribadiannya. Anggota kelompok mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka dapat saling memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang khas pada fase perkembangan mereka.
2) Para anggota kelompok memperoleh kemampuan mengatur dirinya sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri, mula-mula dalam kontra antar pribadi didalam kelompok dan kemudian juga dalam kehidupan sehari-hari diluar kehidupan kelompoknya. Para anggota kelompok menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan lebih marnpu menghayati perasaan orang lain. Kepekaan dan penghayatan ini akan lebih mambuat mereka lebih sensitif juga terhadap kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan sendiri. Masing-masing anggota kelompok menetapkan suatu sasaran yang ingin mereka capai, yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang lebih konstruktif. Para anggota kelompok lebih berani melangkah maju dan menerima resiko yang wajar dalam bertindak, dari pada tinggal diam dan tidak berbuat apa-apa. Para anggota kelompok lebih menyadari dan menghayati makna dan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama,yang mengandung tuntutan menerima orang lain dan harapan akan diterima orang lain.
3) Masing-masing anggota kelompok semakin menyadari bahwa hal-hal yang memprihatinkan bagi dirinya sendiri juga menimbulkankan rasa prihatin dalam hati orang lain. Dengan demikian dia tidak merasa teiisolir, atau seolah-olah hanya dialah yang mengalami permasalahan. Para anggota kelompok belajar berkomunikasi dengan anggota-anggota yang lain secara terbuka, dengan saling menghargai dan menaruh perhatian. Pengalaman bahwa komunikasi demikian dimukingkinkan, akan membawa dampak positif dalam kehidupan dengan orang-orang yang dekat dikemudian hari.
e. Tahap- tahap konseling kelompok
Menurut Prayitno (1995: 40), tahap-tahap pelaksanaan layanan konseling kelompok ada 4 tahap yang meliputi: tahap pembentukan , tahap peralihan, tahap kegiatan dan tahap pengakhiran.
1). Tahap pembentukan merupakan tahap pengenalan , pelibatan diri, pemasukan diri, adapun tujuan dari tahap ini adalah anggota memahami pengertian dan kegiatan kelompok dalam rangka konseling kelompok. Menumbuhkan suasana kelompok tumbuhnya minat anggota tumbuhnya saling mengenal percaya menerima dan membantu diantara para anggota tumbuhnya suasana bebas dan terbuka dan dimulainya pembahasan tentang tingkah laku dan perasaan dalam kelompok.
Kegiatan dalam tahap pembentukan antara lain mengungkapkan pengertian dan tujuan konseling kelompok dalam rangka pelayanan bimbingan dan konseling, menjelaskan cara-cara dan azas-azas kegiatan kelompok, saling mengungkap dan memperkenalkan diri, permainan penghangatan/pengakraban. Peranan pemimpin kelompok dalam tahap pembentukan menampilkan diri utuh dan terbuka menampilakan penghormatan kepada orang lain hangat, tulus bersedia membantu dengan penuh empati.
2). Tahap peralihan merupakan jembatan antara tahap pertama dengan tahap ketiga. adapun tujuan dari tahap peralihan adalah terbebaskanya anggota dari perasaan atau sikap enggan, ragu, malu atau saling tidak percaya untuk memasuki tahap berikutnya, makin mantapnya suasana kelompok dan kebersamaan, makin mantapnya minat untuk ikut serta dalam kegiatan kelompok. Adapaun kegiatan dalam tahap ini menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya, menawarkan atau mengamati apakah para anggota sudah siap menjalani kegiatan pada tahap berikutnya, meningkatkan keikutsertaan anggota. Peranan pemimpin kelompok, menerima suasana yang ada secara sadar dan terbuka tidak mempergunakan cara-cara yang bersifat langsung atau mengambil alih kekuasaan, mendorong dibahasnya suasana perasaan, membuka diri sebagai contoh dan penuh empati.
3.) Tahap kegiatan bertujuan membahas suatu masalah atau topik yang relevan dengan kehidupan anggota secara mendalam dan tuntas adapun dalam tahap ini adalah pemimpin kelompok mengumumkan suatu masalah atau topik tanya jawab antara anggota dan pemimpin kelompok tentang hal-hal belum yang jelas menyangkut masalah atau topik tersebut secara tuntas dan mendalam. Adapun peranan pemimpin kelompok adalah sebagai pengatur lalu-lintas yang sabar dan terbuka, aktif tetapi tidak banyak bicara.
4) Pada tahap pengakhiran merupakan penilaian dan tindak lanjut, adanya tujuan terungkapnya kesan-kesan anggota kelompok tentang pelaksanaan kegiatan, terungkapnya hasil kegiatan kelompok yang telah dicapai yang dikemukakan secara mendalam dan tuntas, terrumuskan rencana kegiatan lebih lanjut, tetap dirasakannya hubungan kelompok dan rasa kebersamaan meskipun kegiatan diakhiri. Sedangkan kegiatan dalam tahap ini pemimpin kelompok mengungkapkan bahwa kegiatan akan segera diakhiri, pemimpin dan anggota kelompok mengemukakan kesan dan hasil-hasil kegiatan, membahas kegiatan lanjutan, mengemukakan perasaan dan harapan. Peranan pemimpin kelompok dalam tahap ini adalah tetap mengusahakan suasana hangat, bebas dan terbuka, memberikan pernyataan dan mengucapkan terima kasih atas keikutsertaan anggota, memberikan semangat untuk kegiatann lebih lanjut, penuh rasa persahabatan dan empati.

I. Kerangka Berpikir
Layanan konseling kelompok dalam bimbingan konseling bermaksud memberikan pemahaman kepada siswa sebab dan akibat terjadinya perilaku agresif, dengan harapan siswa dapat mengetahui akibat dari perilaku yang dilkaukan yaitu perilaku agresif, kemudian tidak melakukannya dalam kehidupan efektifnya sehari-hari. Masyarakat sudah sering mendengar permasalahan yang dilakukan para remaja, sering terjadi perkelahian antar pelajar, membuat gaduh dan merusak. Maka dari itu dengan adanya pemberian layanan konseling kelompok yang membahasas masalah perilaku agresif oleh guru pembimbing akan sangat membantu dalam penanggulangan perilaku agresif yang pada saat ini sudah menjadi suatu hal yang biasa bagi para siswa.
Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah


J. Hipotesis
Sehubungan dengan permasalahan yang diajukan, maka hipotesis yang akan diuji kebenarannya dirumuskan sebagai berikut: “ Layanan konseling kelompok sangat efektif dalam mengurangi perilaku agresif siswa kelas VIII SMP Hasanuddin 10 Semarang tahun pelajaran 2010/2011”

K. Metodologi Penelitian
1. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMP Hasanuddin 10 Semarang. Alasan peneliti mengadakan penelitian di tempat tersebut karena peneliti sering menemukan tindakan perilaku agresif siswa di sekolah tersebut. Hal ini dikarenakan peneliti bekerja di sekolah tersebut sebagai guru Bimbingan dan Konseling sejak tahun 2008. Berbekal pengalaman dan munculnya fakta tersebut maka peneliti berusaha untuk mengurangi perilaku agresif siswa dengan menggunakan layanan konseling kelompok, sehingga dapat terbukti pula sejauh mana efektifitas layanan konseling kelompok dalam mengurangi perilaku agresif siswa.
2. Waktu penelitian
Penulis merencanakan waktu penelitian bulan Mei sampai juni 2011 dengan tempat penelitian di SMP Hasanuddin 10 Semarang Tahun Pelajaran 2010-2011. Adapun secara rinci pelaksanaan penelitian sebagai berikut:
Tabel I. Rencana pelaksanaan penelitian
No Waktu Uraian Kegiatan
1 2 Mei 2011 Observasi lapangan dan pengumpulan data
2 7 Mei 2011 Pelaksanaan Pretest
3 10 Mei-31 Mei 2011 Pelaksanaan layanan konseling kelompok
4 4 Juni 2011 Pelaksanaan Post-test
5 6 Juni 2011 Analisis dan penyusunan laporan

3. Populasi, sampel, dan sampling
a. Populasi
Dalam penelitian ini yang penulis jadikan populasi yaitu siswa kelas VIII SMP Hasanuddin 10 Semarang tahun pelajaran 2010/2011 yang berjumlah 102 siswa. Penulis memilih populasi kelas VIII dikarenakan jika dilihat dari usia, siswa tersebut berada dalam masa perkembangan pubertas yakni suatu masa dimana individu berubah dari makhluk aseksual menjadi makhluk seksual, masa ini terjadi pada usia 12-16 tahun. Dan pada masa ini disertai perubahan-perubahan dalam pertumbuhan somatis dan perspektif psikologis. Sehingga sering kali menimbulkan perilaku bermasalah seperti halnya perilaku agresif.
Tabel II. Populasi
No Kelas Jumlah Populasi
1 VIII A 35
2 VIII B 35
3 VIII C 32
Jumlah 102

b. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil dari jumlah populasi yang diteliti. Karena jumlah populasi yang lebih dari 100, maka menurut Arikunto (2006: 134) sample yang diambil antara 10-30%. Dalam penelitian ini peneliti mengambil 30% sampel saja dari jumlah populasi yang ada, dengan pertimbangan kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga dan dana. Jadi sampel yang diambil sejumlah 30 siswa dari jumlah keseluruhan 102 siswa kelas VIII.
c. Sampling
Peneliti menggunakan teknik purposive sample untuk pengambilan sample dalam populasi yang ada. Purposive sample atau sample bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasrkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Arikunto, 2006: 139). Subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat dalam perilaku agresif.
Teknik ini diambil karena peneliti benar-benar ingin mengetahui keefektifan layanan konseling kelompok dalam mengurangi perilaku agresif siswa, maka dari itu sampel yang diambil adalah siswa yang berperilaku agresif sesuai ciri-ciri yang ada.
Mengingat sampel yang diambil adalah 30% dari populasi yaitu berjumlah 30 siswa dari jumlah keseluruhan 102 siswa kelas VIII, maka sampel tersebut akan dibagi menjadi 3 kelompok untuk proses layanan konseling kelompok. Hal ini dikarenakan jumlah anggota konseling kelompok adalah 6-10 siswa.
4. Metode penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan pendekatan pre-eksperimental design pretest-postest group dan termasuk kategori penelitian kuantitatif. Dan alat yang digunakan untuk pengumpulan data adalah angket skala perilaku.
5. Instrumen penelitian
Untuk mencapai hasil yang objektif, suatu penelitian ilmiah mensyaratkan penggunaan prosedur pengumpulan data yang akurat, objektif dan berdasarkan masalah yang dirumuskan. Untuk itu instrumen yang hendak dipakai dikemas dalam bentuk angket skala bertingkat dengan kisi-kisi instrument sebagai berikut:
Tabel III. kisi-kisi instrument perilaku agresif
No Variabel Indikator Jumlah item Nomor item
Pernyataan positif Pernyataan negatif
1 Perilaku agresif 1) perilaku yang tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasaran 6 4, 2, 6 1, 3, 5
2) Perilakuyang melanggar norma sosial 6 8, 10 ,12 7, 9, 11
3) Perilaku menyerang 6 14, 16, 18 13, 15, 17
4) Perilaku menyakiti atau merusak diri sendiri, orang lain, atau objek-objek penggantinya 6 20, 22, 24 19, 21, 23
5) Sikap bermusuhan terhadap orang lain 6 26, 28, 30 25, 27, 29
6) Perilaku agresif yang dipelajari atau ditiru 6 32, 34, 36 31, 33, 35
Jumlah 36 18 18


Tabel IV. Distribusi pemberian skor skala kemandirian
No Kategori Skor
Positif Negatif
1 Sangat Sering (SS) 4 1
2 Sering (S) 3 2
3 Pernah (P) 2 3
4 Tidak Pernah (TP) 1 4

6. Rancangan penelitian
Menurut Soegeng ( 2007: 161 ) Rancangan penelitian terkait erat dengan metode penelitian. Setiap metode penelitian memiliki rancangannya sendiri. Berikut ini dibicarakan rancangan penelitian dari metode eksperimen. Rancangan eksperimental dapat diklasifikasikan ke dalam a). Rancangan penelitian pra-eksperimental, dan b). Rancangan penelitian eksperimen sungguhan, termasuk rancangan penelitian eksperimental semu, tetapi penulis dalam penelitian ini memilih rancangan penelitian pra-eksperimental One group pretest-posttes desigh. Rancangan ini menggunakan kontrol yang minimal, dengan gambar sebagai berikut :
Tes-awal Perlakuan Tes-akhir

Keterangan :
T 1: pretest (tes awal) T2 : posttest (tes akhir) X : treatment (perlakuan)
Langkah-langkah pengumpulan dan analisis data dapat digambarkan sebagai berikut:
a) Lakukan tes-awal T1, untuk mengukur skor rata-rata ( mean ) sebelum subyek mendapatkan layanan konseling kelompok dengan menggunakan instrumen yaitu angket skala psikologis.
b) Berikan perlakuan X, yaitu treatmen layanan konseling kelompok
c) Lakukan tes-akhir T2, untuk mengukur skor rata-rata setelah subyek mendapatkan perlakuan X dengan instrumen yang sama dengan pengukuran pertama.
d) Membandingkan T1 dengan T2 untuk menentukan ada atau tidak ada perbedaan sebagai akibat dari perlakuan X, yaitu perubahan perilaku agresif.
e) Perbedaan tersebut, bila ada diuji dengan teknik statistik yang sesuai untuk menentukan apakah perbedaan tersebut signifikan ( berarti, bermakna ).
7. Validitas dan Reliabilitas Instrumen
a. Validitas instrumen
Untuk mengukur apakah skala psikologis mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, maka diperlukan pengujian validitas. Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukan tingkatan kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen (Arikunto, 2006:168).
Sebuah instrument dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Sebuah instrument dikatakan valid apabila dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang validitas yang dimaksud. Dalam penelitian ini penulis menggunakan rumus korelasi product moment dengan data angka kasar sebagai berikut:
N (∑xy) – (∑x) (∑y)
rxy =
{N∑x2 – (∑x)2}{N∑Y2 – (∑Y)2}
Keterangan :
rxy : Koefisien korelasi variabel x dan variabel y
X : Jumlah nilai variabel bebas
Y : Jumlah nilai variabel terikat
N : Jumlah siswa
b. Reliabilitas instrument
Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Instrumen yang baik tidak akan bersifat bersifat tendensius mengarahkan responden untuk memilih jawaban-jawaban tertentu (Arikunto, 2006: 178).
Untuk mengetahui reliabilitas alat ukur dapat digunakan rumus alpha:

Keterangan:
r11 = Reliabilitas instrumen
K = Banyaknya butir pernyataan
∑ b2 = Jumlah varians butir
t2 = Varian total
8. Analisis data
Menurut Arikunto (2006: 309), teknik analisis data merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengolah data hasil penelitian guna memperoleh suatu kesimpulan. Teknik data yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana efektifitas layanan konseling kelompok dalam mengurangi perilaku agresif siswa kelas VIII SMP Hasanuddin 10 Semarang tahun 2010/2011 adalah menggunakan metode eksperimen dengan teknik cluster random sampling. Dalam test ini t-test digunakan untuk menguji signifikan perbedaan mean. Adapun rumus t-test yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan:
Md = Mean dari perbedaan pre-test (post test-pre-test)
Xd = Deviasi masing - masing subjek (d-Md)
∑ x2d = Jumlah kuadrat deviasi
N = Subjek pada sampel

Rabu, 27 Oktober 2010

Komunikasi Manusia

Hubungan Masyarakat Sebagai Objek Komunkasi
Seperti yang dijelaskan dalm pengertian komunikasi diatas, bahwa komunikasi dapat dikatakan proses memberikan stimulus kepada individu baik dengan media atau tidak untuk mendapatkan respon. Telah dikemukakan bahwa hubungan masyarakat dapat diistilahkan dengan HUMAS, yang merupakan terjemahan dari public relation yang biasa disingkat PR. Secara terminologis terjemahan tersebut sebenarnya kurang tepat, sama dengan kurang tepatnya istilah public Opinion, menjadi pendapat umum.
Walaupun istilah tersebut dirasa kurang tepat namun karena sudah menjadi pengetahuan yang sifatnya umum, maka menjadi sukar untuk diganti. Memang istilah hubungan masyarakat lazim disingkat menjadi humas itu tidak perlu diganti, sebab hanya akan membingungkan khalayak. Tetapi yang penting dipahami mahasiswa yang mempelajari pengetahuan tersebut adalah maknanya, makna Publik Relation yang diterjemahkan menjadi hubungan masyarakat.
Kurang tepatnya terjemahan Publik Relation menjadi hubungan masyarakat menyangkut makna istilah public. Terjemahan “Relation” menjadi hubungan dapat dinilai tepat, tetapi terjemahan “Publik” menjadi masyarakat tampaknya kurang tepat, sebab masyarakat mengarah ke pengertian society, sedangkan sasaran public relation bukanlah seluruh manusia yang menghuni suatu wilayah disebuah Negara. Dalam membahas pengertian public, kita perlu meninjau dari dua aspek :
1.Aspek Geografis
Secara geografis public adalah orang- orang yang berkunpul bersama-sama disuatu tempat, baik tempat itu merupakan daerah seluas wilayah Negara, provinsi, kota, kecamatan, atau desa.

2.Aspek Psikologis
Secara psikologis public adalah sejumlah orang yang sama-sama menaruh perhatian terhadap suatu hal, atau kepentingan yang sama tanpa ada sangkut pautnya dengan daerah dimana berada.
Jadi dapat disimpulkan secara sederhana bahwa public adalah “ kelompok-kelompok dalam masyarakat atau suatu wilayah yang bersama-sama terikat oleh suatu kepentingan yang sama.
Telah ditegaskn bahwa hubungan masyarakat merupahan wujud atau hasil dari proses komunikasi. Sebab sasaran komunikasi adalah individu lain baik bersifat pribadi, umum, atau khalayak, dan masyarakat termasuk didalamnya. Sehingga hubungan masyarakat dapat juga dikatakan sebagi kegiatan komunikasi yang berlangsung dua arah secara timbal balik.
II.1. Komunikasi Paradigmatik Dalam Konsep Hubungan Masyarakat
Komunikasi paradigmatik adalah komunikasi yang berlangsung menurut suatu pola dan mempunyai tujuan tertentu. Seperti : ceramah, kuliah, negosiasi, dll. Tujuan komunikasi bermula timbul pada seseorang yang akan mengemukakan pikiran atu perasanya, yakni agar terjadi perubahan sikap terhadap orang yang dilibatkannya. Dalam konsep hubungan masyarakat hal ini dapat berlaku dimana saat orang sedang bekerja, guru mengajar, konselor memberikan bimbingan, dll. Sehingga untuk meraih hasil yang maksimal dalam proses komunikasi baik hubungan dengan masyarakat, instansi, atau pribadi, seorang komunikator perlu memahami beberapa paragdimatik [ Pola ] perubahan sikap seperti ;
a.pola kognitif
Beersangkutan dengan informasi atau pengetahuan [ pikiran ]
b.Pola afektif
Berkaitan dengan perasaan
c.Pola konatif atau behavioral
Berhubungan dengan tindakan atau kegiatan
Contoh
Pada suatu hari sebuah media cetak SUARA MERDEKA di Semarang, memberitakan seorang wanita yang menderita tumor menahun, sebagai bahan pendukung redaksi menampilkan foto penderita yang tampak perutnya besar [bukan hamil-lo] dan terlena diatas tempat tidur.

Dalam hubungan masyarakat contoh di atas akan menimbulkan berbagai efek, apabila masyarakat membaca berita tersebut dari awal sampai akhir dan menjadi tahu serta mengerti, maka yang timbul efek kognitif. Tetapi apabila pembaca selain mengetahui, juga merasa terenyuh hatinya, merasa iba, maka dalam hal ini yang muncul efek afektif. Kemudian bila mana pembaca tadi mendatangi redaksi yang memberitakan peristiwa tersebut, lalu menyerahkan uang dengan permintaan agar disampaikan kepada si penderita maka yang muncul pada pembaca tersebut adalah efek konatif.
Contoh rumusan tersebut mengandung upaya terjadinya arus balik tanggapan dari komunikan kepada komunikator.
II.2. Klasifikasi Hubungan Dengan Publik
Public atau masyarakat yang dijadikan sebagi sasaran atau obyek komunikasi amat penting untuk dipahami secara seksama.karena teknik komunikasi yang yang dilancarkan dan media yang digunakan ditentukan oleh yang dijadikan sasarannya. Jangan sampai salah kaprah , ibarat menembak burung menggunakan meriam, atau melawan pasukan tank dengan senapan angin. Dalam hal ini akan dijelaskan klasifikasi hubungan dengan public atau masyarakat , yakni public intern, dan public ekstern. Penjelasannya sebagi berikut :
A.Hubungan dengan public intern
Publik intern sebagai sasaran hbungan masyarakat terdiri atas orang-orang yang bergiat diorganiasai [perusahaan, instansi, lembaga, dll] yang secara fungsional mempunyai tugas dan pekerjaan serta hak dan kewjibantertentu. Sebagi public intern mereka terdiri atas kelompok-kelompok tertentu yang tidak selalu tidak sama jenisnya dengan pihak lain. Semisal public intern dalam perguruam tinggi, meliputi public karyawan, public dosen, public mahasiswa, dll.
Untuk lebh jelasnya kami cotohkan hubungan dengan public karyawan, di Indonesia masih banyak instansi atau perusahaan yang mengabaikan karyawan, sebagai sasaran hubungan masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa secara structural karyawan berada dibawah hubungan masyarakat[HUMAS]
B.Hubungan dengan public ekstern
Public ekstern sebagai sasaran kegiatan hubungan masyarakat terdiri atas orang-orang atau anggota-anggota masyarakat diluar organisasi atau kelompok. Sebagai contoh dapat diambil para pelanggan rokok Djarum, jelas mereka adalah public atau khalayak ekstern perusahaan rokok tersebut. Tetapi kenyataan dalam masyarakat juga ditemukan banyak perokok merk lain, misalnya, Gudang Garam, Pamor, Sukun, Sampoerna, dll. Suatu saat mereka ini diduga akan terpengaruh pindah kemerk Djarum apabila terpengaruh oleh proses komunikasi bersifat persuasi yang dilancarkan pihak perusahaan, misalnya dengan iklan. Dalam hal ini yang bukan perokok tidak termasuk publk ekstern. Pada kenyataanya public ekstern terdiri atas banyak orang yang berbeda kepentingan dan kegiatanya. Untuk itu keefektifan komunikasi sebagai pengaktifan hubungan masyarakat sangatlah dibuuhkan. Inilah bentuk hubungan masyarakat dengan kegiatanya berupa komunikasi baik melalui mediamassa atau cetak, serta bentuk-bentuk komunikasi lainnya.
II.3. Berlangsungnya proses Komunikasi
Apbila dikataka komunikasi adalah suatu proses, suatu kelangsungan yang berkesinambungan. Maka dalam kelangsungannya mestia ada orang yang menyampaikan pesan tertentu, dan harus ada oaring lain yang menerima pesan tersebut. Jadi, dalam proses komunikasi paling sedikiy harus ada tiga unsur diantaranya adalah manusia, dan satu lainnya adalah pesan yang disebutkan tadi. Apabila orang-orang yang terlibat dalam komunikasi berjauhan tempat atu banyak jumlahnya, maka unsurnya bertambah satu yakni sarana, untuk menyambungkan pesan tasi kepada orang atau-orang yang menjadi sasaran komunikasi.

IV.Komunikasi Dan Opini Publik
Istilah opini public sebagai mana terjemahan dari bahasa Inggris Publik Opinion, yang badgi masyarakat dikenal dengan istilah pendapat umum. Pada paparan ini akan dibicrakan agak lebih luas karena aspek komunikasi ini amat penting dalam kegiatsn hubungan masyarakat. Dalam pembahasan ini , istilah Publik Opinion diterjemahkan menjadi opini public, dengan maksud semata-mata agar jelas. Sebab jika istilah tersebut diterjemahkan menjadi “pendapat umum” kita akan dibingungkan dengan istilah General opinion yang juga ada kaitanya dengan public opinion. Diatas telah dibicarakan pengertian publik dan opini secara terpisah, selam opini itu merupakan opini seseorang[Individual Opinion], tidak akan menimbulkan permasalahan. Demikian pula apabila opini tersebut merupakan opii pribadi[private opini]. Permasalahan akan timbul apabila apabila itu menjadi opini public [public opinion], menyangkut orang banyak karena berkaitan dengan orang banyak. Disinilah terjadi komunikasi diantara orang banyak itu dengan menampilkan pendapat masing-masing yang berbeda. Dalam situasi komunikasi yang galau seperti itu, opini yang berbeda merupakan pengekspresian sikap-sikap yang berbeda pula.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Optimalisasi Peran Guru BK Non Akademik Sesuai Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal Sesuai Stanndart Depdiknas.

BAB I: PENDAHULUAN

1.Latar belakang masalah
a.Identifikasi masalah
Manusia dituntut untuk dapat belajar mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga dalam mencapai tingkatan keberhasilan dalam belajar manusia sangat membutuhkan motivasi dalam dirinya, untuk itu manusia telah dilengkapi dengan berbagai potensi, baik potensi yang berkenaan dengan keindahan dan ketinggian derajat kemanusianya itu, yang memungkinkan untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Pemenuhan terhadap tuntutan perkembangan masyarakat sekaligus memerlukan pengembangan individu warga masyarakat secara serasi, selaras, dan seimbang.
Sebagaimana telah dikemukakan, pengembangan dan motivasi belajar seutuhnya hendaknya mencapai pribadi-pribadi yang matang, dengan kemampuan sosial yang menyejukan, kesusilaan tinggi, dan keimanan serta ketakwaan yang dalam. Tetapi, kenyataan yang sering dijumpai adalah keadaan pribadi yang kurang berkembang dan rapuh, pemalas, kesosialan yang panas dan sangar. Kesusilaan yang rendah dan keimanan serta ketaqwaan yang dangkal. Tingkat kenakalan remaja dan moral pelajar yang semakin parah menunjukan gejala kurang berkembangnya dimensi motivasi belajar dan kesusilaan mereka. Permasalahan yang sering muncul dikalangan siswa adanya pencurian, perjudian, sex bebas, perkelahian dan sebagainya sehingga peran Guru bimbingan konseling dipandang sangat perlu untuk dapat menangani dan memberikan tindakan pencegahan berkaitan dengan kasus-kasus tersebut. Sehingga tercipta siswa yang menpunyai motivasi belajar tinggi untuk meraih cita-citanya. Dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Namun tidak semua Guru Bimbingan Konseling menempuh pendidikan sarjana (S1) dari Fakultas Ilmu Pendidikan Psikologi dan Bimbingan,
di sekitar kita banyak di temui Guru Bimbingan Konseling (BK) yang merupakan lulusan dari Fakultas atau jurusan lain, misalkan saja dari Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) dan masih banyak lagi fakultas lainya yang kenyataan dilapangan merangkap jabatan sebagai guru Bimbingan Konseling. Uniknya, banyak juga ditemui Guru Bimbingan Konseling yang Non Akademik tersebut mampu membantu mengembangkan motivasi belajar siswa, pengembangan potensi meskipun tidak maksimal seperti yang dilakukan guru Bimbingan Konseling dari akademiknya (jurusanya).

Hal ini perlu menjadi perhatian bersama karena dari segi aturan undang-undang Guru dan Dosen di jelaskan sebagai berikut:
1.pendidik merupakan tenaga profesional”
(UU No.20 Tahun 2003 Pasal 39 Ayat 2),
2.“profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi” (UU No.14 Tahun 2005 Pasal 1 Butir 4).
3.Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur
(UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6).

Dari uraian aturan atau undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut di atas, dapat kita ambil suatu pemahaman sederhana bahwa seorang tenaga pendidik (guru) merupakan tenaga professional, dan tenaga yang professional adalah yang menempuh pendidikan profesi sesuai dengan bidangnya.


b.Pembatasan masalah
1)Pokok Pembahasan
Peranan Bimbingan dan Konseling merupakan usaha membantu siswa dalam mengembangkan kehidupan pribadi, sosial, kegiatan belajar, serta perencanaan dan pengembangan karier. Pelayanan Bimbingan dan Konseling memfasilitasi pengembangan diri siswa, baik secara individual maupun kelompok, sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, perkembangan serta peluang yang dimiliki. Sehingga peran sorang guru bimbingan dan konseling sangat berartibagi siswa di sekolahnya.
Keberadaan Guru Bimbingan dan Konseling di sekolah (dalam jalur pendidikan formal) diharapkan mampu meningkatkan motivasi belajar siswa dan mengembangkan potensinya dalam berbagai aspek.

2)Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup masalah yang hendak diseminarkan adalah Optimalisasi peran Guru Bimbingan Konseling Non Akademik Sesuai Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur pendidikan Formal yang di standartkan oleh aturan Depertemen Pendidikan Naional.

c.Perumusan masalah
Supaya penelitian analisis masalah dapat mencapai sasaran sebagaimana yang diinginkan, maka penelitian ini akan dibatasi, yaitu pada optimalisasi peran Guru Bimbingan Konseling Non Akademik sesuai dengan rambu-rambu penyelenggaraan Bimbingan Konseling dalam jalur pendidikan formal
Berdasarkan batasan di atas, maka permasalahan pokok dalam seminar masalah BK ini dirumuskan sebagai berikut:
1.Bagaimana peran Guru Bimbingan Konseling di jalur pendidikan formal (SD, SMP SMA) yang disesuaikan dengan rambu-rambu penyelenggaraan Bimbingan dan konseling?
2.Apa saja hasil yang telah dicapai dari pelaksanaan pengembangan motivasi belajar siswa dan potensinya?
d.Landasan Teori
1.“pendidik merupakan tenaga profesional”
(UU No.20 Tahun 2003 Pasal 39 Ayat 2),
2.“profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi”
(UU No.14 Tahun 2005 Pasal 1 Butir 4).
3.Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur
(UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6).

e.Tujuan penelitian/ Seminar Masalah
1)Tujuan Teoritis
a) Menguasai secara akademik teori, prinsip, teknik dan prosedur dan sarana yang digunakan dalam penye-lenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang seharusnya.
b)Mengemas teori, prinsip dan prosedur serta sarana bimbingan dan konseling sebagai pendekatan, prinsip, teknik dan prosedur dalam penyeleng-garaan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan siswa.

2)Tujuan Praktis
a)Bagi Siswa
Siswa dapat mengetahui pentingnya peran guru Bimbingan Konseling meskipun Guru Bimbingan Konseling tersebut Non Akademik (bukan S-1 Bimbingan Konseling)
b)Bagi Guru Bimbingan Konseling (Konselor)
1.Guru Bimbingan Konseling Non Akdemik mampu Merancang kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai rambu-rambu pelaksanaan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling.
2.Menilai proses dan hasil kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling serta melakukan penyesuaian-penyesuaian sambil jalan (mid-course adjustments) berdasarkan keputusan transaksional selama rentang proses Bimbingan dan konseling dalam rangka mengembangkan motivasi belajar dan mengembangkan potensi siswa.
c) Bagi Kepala Sekolah
1.membantu kepala sekolah dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan di sekolahnya terutama meningkatkan peran Guru Bimbingan Konseling Non Akdemik dalam membantu mengembangkan motivasi individu.


BAB II: STRUKTUR PELAYANAN KONSELING

Pelayanan konseling di sekolah/madrasah merupakan usaha membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kegiatan belajar, serta perencanaan dan pengembangan karir. Pelayanan konseling memfasilitasi pengembangan peserta didik, secara individual, kelompok dan atau klasikal, sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, perkembangan, kondisi, serta peluang-peluang yang dimiliki. Pelayanan ini juga membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta masalah yang dihadapi peserta didik.

A.Pengertian, Paradigma, Visi dan Misi
1.Pengertian
Konseling adalah pelayanan pemberian bantuan untuk peserta didik, berkenaan dengan pengembangan kondisi kehidupan efektif sehari-sehari (KES) dan penanganan kondisi kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu (KES-T), baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku.
2.Paradigma
Paradigma konseling adalah pelayanan bantuan psiko-pendidikan dalam bingkai budaya. Artinya, pelayanan konseling berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan dan teknologi pendidikan serta psikologi yang dikemas dalam kaji-terapan pelayanan konseling yang diwarnai oleh budaya lingkungan peserta didik.

3.Visi
Visi pelayanan konseling adalah terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian dukungan perkembangan dan pengentasan masalah agar peserta didik berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia.
4.Misi
Misi pelayanan konseling meliputi:
1.Misi pendidikan, yaitu memfasilitasi pengembangan peserta didik melalui pembentukan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan masa depan.
2.Misi pengembangan, yaitu memfasilitasi pengembangan potensi dan kompetensi peserta didik di dalam lingkungan sekolah/ madrasah, keluarga dan masyarakat.
3.Misi pengentasan masalah, yaitu memfasilitasi pengentasan masalah peserta didik mengacu pada kehidupan efektif sehari-hari.

B.Bidang Pelayanan
Bidang pelayanan konseling meliputi:
1.Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik.
2.Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas.
3.Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.
4.Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.

C.Fungsi Konseling
Pelayanan konseling mendukung fungsi-fungsi:
1.Pemahaman, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memahami diri dan lingkungannya.
2.Pencegahan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mampu mencegah atau menghindarkan diri dari berbagai permasalahan yang dapat menghambat perkembangan dirinya.
3.Pengentasan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mengatasi masalah yang dialaminya.
4.Pemeliharaan dan pengembangan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memelihara dan menumbuh-kembangkan berbagai potensi dan kondisi positif yang dimilikinya.
5.Advokasi, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memperoleh pembelaan atas hak dan atau kepentingannya yang kurang mendapat perhatian.
D. Prinsip dan Asas
Pelayanan konseling dilaksanakan dengan menerapkan prinsip dan asas-asas berikut:
1.Prinsip-prinsip konseling berkenaan dengan sasaran layanan, permasalahan yang dialami peserta didik, program pelayanan, serta tujuan dan pelaksanaan pelayanan.
2.Asas-asas konseling meliputi asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan, kegiatan, kemandirian, kekinian, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, alih tangan kasus, dan tut wuri handayani.

F. Jenis Layanan dan Kegiatan Pendukung
Pelayanan konseling diselenggarakan melalui berbagai jenis layanan
dan kegiatan pendukung berikut:
1.Jenis Layanan:
a.Orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah/madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru.
b.Informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.
c.Penempatan dan Penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler.
d.Penguasaan Konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terutama konten-konten yang berisi kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
e.Konseling Perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya.
f.Bimbingan Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok.
g.Konseling Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.
h.Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.
i.Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka.
2.Kegiatan Pendukung
a.Aplikasi Instrumentasi, yaitu kegiatan mengumpulkan data tentang diri peserta didik dan lingkungannya, melalui aplikasi berbagai instrumen, baik tes maupun non-tes.
b.Himpunan Data, yaitu kegiatan menghimpun data yang relevan dengan pengembangan peserta didik, yang diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematis, komprehensif, terpadu, dan bersifat rahasia.
c.Konferensi Kasus, yaitu kegiatan membahas permasalahan peserta didik dalam pertemuan khusus yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik, yang bersifat terbatas dan tertutup.
d.Kunjungan Rumah, yaitu kegiatan memperoleh data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik melalui pertemuan dengan orang tua dan atau keluarganya.
e.Tampilan Kepustakaan, yaitu kegiatan menyediakan berbagai bahan pustaka yang dapat digunakan peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan sosial, kegiatan belajar, dan karir/jabatan.
f.Alih Tangan Kasus, yaitu kegiatan untuk memindahkan penanganan masalah peserta didik ke pihak lain sesuai keahlian dan kewenangannya.
G.Bentuk Kegiatan
Bentuk kegiatan layanan konseling meliputi:
1.Individual, yaitu bentuk kegiatan konseling yang melayani peserta didik secara perorangan.
2.Kelompok, yaitu bentuk kegiatan konseling yang melayani sejumlah peserta didik melalui suasana dinamika kelompok.
3.Klasikal, yaitu bentuk kegiatan konseling yang melayani sejumlah peserta didik dalam satu kelas.
4.Lapangan, yaitu bentuk kegiatan konseling yang melayani seorang atau sejumlah peserta didik melalui kegiatan di luar kelas atau lapangan.
5.Pendekatan Khusus, yaitu bentuk kegiatan konseling yang melayani kepentingan peserta didik melalui pendekatan kepada pihak-pihak yang dapat memberikan kemudahan.

H. Program Pelayanan
1.Jenis Program
a.Program Tahunan, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu tahun untuk masing-masing kelas di sekolah/madrasah.
b.Program Semesteran, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan.
c.Program Bulanan, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.
d.Program Mingguan, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.
e.Program Harian, yaitu program pelayanan konseling yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran dari program mingguan dalam bentuk rencana program pelayanan/pendukung (RPP).

2.Penyusunan Program
a.Program pelayanan konseling disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik (need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi.
b.Substansi program pelayanan konseling meliputi empat bidang pengembangan, jenis layanan dan kegiatan pendukung, bentuk kegiatan, sasaran pelayanan, dan volume/beban tugas guru pembimbing/konselor sekolah.

BAB III: UPAYA PENAGGULANGAN MASALAH


A.Sosialisasi Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling
Dalam Melaksanakan program sosialisasi ini saya bentuk dalam satuan layanan.
Adapun satuan layanan terlampir.

B.Rencana Tindak Lanjut
1)Workshop Peningkatan Kompetensi Guru Bimbingan Non Akademik
a.Tujuan
Tujuan dari program rencana tindak lanjut yang dikemas dalam bentuk workshop ini adalah untuk meningkatkan mutu kompetensi Guru Bimbingan Konseling non Akademik dalam menyelenggarakan bimbingan dan konseling yang berbasis kompetensi disekolah dengan harapan:
1.Memperoleh gambaran nyata tentang kondisi pelaksanaan Bimbingan dan konseling sesuai dengan rambu-rambu penyelenggaraan Bimbingan dan konseling di jalur pendidikan formal.
2.Memperoleh penyegaran dan pemahaman tentang paradigm baru konseling dan ketrampilan konseling.
3.Mampu memberikan praktek konseling sesuai standar profesi.
4.Mampu menularkan dan mengembangkan ketrampilan konseling di lingkungan sejawatnya.

b.Materi dan Waktu
Rencana materi dan alokasi waktu workshop tersebut adalah sebagai berikut:
No Materi

A. UMUM
1. Kurikulum berbasis Kompetensi
2. Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan formal
B. POKOK
1. Wawasan Bimbingan dan Konseling Indonesia
2. Manajemen dan pelaksanaan Konseling
3. Ketrampilan Konseling Individu
4. Ketrampilan Konsleing Kelompok
5. Praktik Ketrampilan Konseling Individu
6. Praktik Ketrampilan Konsleing Kelompok
7. Pelayanan Konseling dan Perlindungan UU Anak.

2)Melakukan Pengawasan Kegiatan Bimbingan Konseling.
Dalam Kegiatan pengawasan pelayanan konseling di sekolah/madrasah, saya bekerja sama dengan kepala sekolah. Dan dilakukan dengan cara:
1.Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara:
a. interen, oleh Kepala Sekolah/Madrasah.
b. eksteren, oleh Pengawas Sekolah/Madrasah bidang konseling.
2.Fokus pengawasan adalah kemampuan profesional guru pembimbing/konselor sekolah.
3.Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Hasil pengawasan didokumentasikan, dianalisis, dan ditindaklanjuti untuk peningkatan mutu perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah.

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan
Diperlukan paradigma yang sama dari berbagai pihak tentang konsep profesionalisme suatu profesi.
Bimbingan dan konseling yang memiliki peran sentral perlu sosok yang mampu berfungsi sebagai agen perubahan (The agent of change) dan sesuai dengan kompetensi bidang akademiknya. yang dapat mengintegrasikan berbagai profile guru, peserta didik disamping profile dirinya sendiri.
Peluang bagi bimbingan dan konseling untuk mengembangkan ktreativitas dalam menciptakan pembelajaran yang bermakna sangat terbuka luas.

B. Saran
Guru Bimbingan dan Konseling sebaiknya terus menerus belajar agar memiliki pengetahuan yang memadai, keberanian dan keuletan yang ditunjang oleh kemampuan. Sebab yang dihadapi adalah benda hidup yang setiap detik mampu memberikan kejutan diluar prediksi kita sebagi tenaga pendidik.

Daftar Pustaka

Prayitno. & Erman A. (1994). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling.Jakarta: Rineka Cipta
Depdiknas. (2007). Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta.
ABKIN.2005. Standar Kompetensi Konselor. Bandung
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen.

Kesulitan Dalam Penyesuaian Diri di Masa Lansia

KESULITAN DALAM PENYESUAIAN DIRI DI MASA LANSIA

I.Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang cenderung hidup berkelompok, sehingga manusia tidak mungkin akan terlepas dari berbagai aktivitas- aktivitas sosial, dalam keseharianya manusia melakukan interaksi sosial dal;am mencapai pemenuhan kebutuhan hidup nya, sehingga hal ini juga tidak terlepas dari proses adaptasi atau penyesuaian diri. Dalam sepamjang kehidupan seseorang terkadang terdapat hal serius yang lebih potensial sehingga mengakibatkan proses penyesuaian diri secara pribadi dan social tidak dapat dilakukan secara baik pada usia lanjut. Sebagian dari masalah ini disebabkan oleh karena menurunya kemampuan mental dan fisik yang mengakibatkan orang berusia lanjut lebih mudah diserang oleh beberapa kesukaran atau bahaya potensial disbanding pada usia sebelumnya.
Ketika individu gagal dalam melakukan penyesuaian diri akan mempengaruhi perkembangan individu tersebut, seperti selalu merasa rendah diri dan merasa bersalah, cemas, tidak nyaman, dll.

II.Faktor Penyebab
Dimasa lansia Individu mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri disebabkan oleh beberapa faktor, seperti halnya :
A.Menurunya Kemampuan mental atau kognisi
B.Fisik yang melemah
C.Hilangnya motifasi hidup sebab merasa Lansia

III.Macam-macam kesulitan Dalam penyesuaian Diri
a.Kesulitan Penyesuaian Diri Secara Fisik
Tidak sedikit orang berusia lanjut belajar dan berusaha untuk mengatasi penyakit ringan yang bersifat fisik, sedang da juga sebagian lagi yang tidak berusaha mengatasinya, beberapa orang mengeluh dan merasa sedih terhadap diri mereka sendiri dan sikap seperti ini sering dapat merusak setiap motifasi yang dapat digunakan untuk menanggulangi hambatan-hambatan kehidupan mereka dengan baik. Ada beberpa tanda-tanda secara umum yang dialami kaum usia lanjut dari segi fisik yang sekiranya menjadikan hambatan dalam penyesuaian diri, seperti adanya penyakit diusia lanjut, kurang gizi yang mengakibatkan indvidu tidak kuat lagi, ganggauan gigi, kecelakaan atau trauma.

b.Kesulitan Penyesuaian Diri secara Psikologis
a.Mudahnya terpengaruh pendapat klise kebudayaan
Secara Psikologis orang usia lanjut cenderung mudah terpengaruh, seperti menerima pendapat kise tentang kebudayaan, mereka menerima kepercayaan tradisional dari suatu usia. Hal ini dapat menjadikan mereka malas dan enggan untuk bersosialisasi sebab dianggap tidak mampu unutuk melakukan sesuatu,
Contoh, Orang usia lanjut yang percaya bahwa dirinya terlalu tua untuk belajar ketrampilan baru, maka timbullah pepatah kuno “ anda tidak dapat mengajarkan permainan baru pada anjing tua, Pepatah ini berakibat buruk bagi orang lansia yang hendak mencari pekerjaan atau dunia baru setelah pensiun, karena orang lansia tersebutyeng terjebak dalam pendapat atau pepatah tersebut.


b.Perubahan dalam pola kehidupan
Orang usia lanjut perlu menetapkan pola yang tentunya berbeda dengan keadaan masa lalunya dan cocok dengan kondisi usia lanjut.
Contoh : Mereka tidak perlu memiliki rumah besar sebab anak-anaknya sudah mempunyai rumah sendiri.

c.Pelepasan kegiatan social
Orang usia lanjut yang secara sukarela atau terpaksa melepaskan kegiatan social nya, secara social ia menjadi terisolasi, sebagai akibatnya mereka kurang memperoleh dukunga social pada waktu mereka mereka mengalami strees atau masalah dimasa mudanya.


IV.Solusi
Supaya kaum usia lanjut tidak mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :
Melaukan persiapan untuk hari tua baik secara psikis, fisik atau ekonomis
Mampu memuaskan berbagai kebutuhan-kebutuhan pribadi, dan berbuat sesuai dengan harapan-harapan orang lain sepanjang rentang kehidupan.
Mempertahankan kenangan akan persahabat lama,
Adanya Anak-anak yang telah dewasa yang mampu menciptakan penyesuaian social dan personal yang baik bagi orang-orang berusia lanjut.

Anak Autis Sebagai Pribadi Utuh

I. Pengertian Anak Autis
Memang begitu komplek dan luar biasa kuasa tuhan, bagaimana tidak kita semua tahu bahwa penduduk Negara Indonesia kurang lebih terdiri dari 200 juta jiwa. Mengapa kuasa tuhan dikatakan komplek dan luar biasa Sebab, dari jumlah penduduk yang disebutkan tadi semua mempunyai bentuk, karakter, kognisi,dan emosi yang berbeda, sehingga manusia dikatakan unik. Dari beberapa perbedaan tersebut tak jarang kita kenal perbedaan yang bersifat Psikis, seperti halnya istilah Autis. Autis merupakan suatu kelainan psikis yang kadang menjadikan seorang individu dijauhi teman sebaya atau yang lebih dewasa. Anak autis bukan berarti anak tersebut mengalami retardasi mental tetapi hanya saja anak tersebut cenderung apatis, asik dengan dunia sendiri , dan juga termasuk anak yang tidak normal seperti anak pada umumnya. Jadi dapat disimpu;lkan bahwa anak autis adalah anak yang mempunyai tingkat kognisi berlebihan,hiperaktif, acuh tak acuh dan cenderung asik dengan dunianya sendiri.

A. Anak Autis dari sudut pandang sosial
Dalam kehidupan sehari-harinya anak autis pada dasrnya tidak berbeda dengan anak –anak lain pada umumnya, namun kita dapat mengetahui nak itu autis atau tidak dapat dilihat dari tingkat interaksinya terhadap sesama. Kebanyakan kasus dilapangan anak autias cenderung dipandang sebelah mata, tak berprestasi, bahkan selalu diremehkan khalayak. Setelah anda bertemu Kharisma Rizki Pradana [8] anda tentu akan keluar dari pikiran negatif anda tentang anak autis., sebab Kharisma salah seorang penderita autis telah membuktikan bahwa ia mampu menghafal 250 lagu sehingga ia memecahkanrekor MURI yang dimulai senin [12/11] sampai kamis [15/11] di DP Mal Semarang. Sudah saatnya anak autis tidak dipandang sebelah mata secara sosial, dan pantas untuk disebut sebagai pribadi yang utuh seperti anak pada umumnya.

B. Anak autis dari sudut pandang medis
Seacra medis anak penderita autis tidaklah sakit,sebab penderita autis merupakan bawaan lahir. Biasanya sel dan syarafnya ada yang tidak berfungsi sebagai mana mestinya. perlu diberikan terapi seperti halnya terapi wicara, okupasi [melatrih motorik halus dan konsentrasi], dll. Untuh menunjang perkembangannya yang lebih optimal.

II. Hak – Hak Anak Autis
Pada dasarnya banyak hak-hak yang harus dipenuhi, tetapi dalam hal ini penulis hanya menyebutkan beperapa saja.
Setiap orang berhak untuk “menjadi diri sendiri” sesuai dengan garis perkembangan kepribadiannya, dan berhak pula mengenakan kepribadian sendiri lengkap dengan perasaan dan pikiran. Kepribadian itu sendiri adalah keadaan manusia sebagai perseorangan, keseluruhan dengan sifat-sifat yang melekat dalam watak manusia. [Kamus umum bahasa Indonesia, 768, 1982] mengenal kepribadian tidak lepas dari kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi pada umumnya. Dalm hal ini disebutkan bahwa anak autis juga memiliki hak yang sama dengan anak manusia pada umumnya, meliputi :

a. Hak untuk tumbuh dan berkembang
Kebebasan tumbuh dan berkembang mencakup hak untuk tumbuh dan berkembang secara sendiri. Suatu relasi harus memungkinkan kedua belah pihak bertukar dan berbagi pengalamanserta saling membantu perkembangan mereka.sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

b. Hak untuk menemukan diri sendiri
Orang tidak dapat berubah, kecuali ia memang ingin berubah. Bentuk perkembangan dan perubahan yang terbaik dapat terjadi melalui saling mencintai. Diri kita sama dengan keseluruhan perasaan, pikiran, tindakan, maksud dan tujuan kita. Kita berhak mempunyai perasaan, apapun perasaan itu serta berhak menjadi diri sendiri.
c. Hak untuk dicintai
Cinta kepada orang lain buikan terutama untuk memenuhi suatu harapan, sebab harapan itu merupakan ciptaan kita sendiri. Harapan mungkin itu kita bangun hanya karena kebutuhan yang tidak dapat kita penuhi. Jika kita terus membangun harapan, kita menunda kemampuan untuk mencintai orang lain dengan sempurna. Cinta dari masa lampau tidak pernah diam, cinta yang telah lalu hanya beralih keluar tanpa riak gelombamg.

d. Hak atas kesendirian
Merupakan hak yang manusiawi, sebab hidup tanpa hak atas kesendirian sulit dibayangkan. Setiap orang perlu waktu sendiri tanpa diganggu. Tidak semua pikiran atau perasaan dibagikan kepada orang lain. Keterbukaan memang menjadi tujuan relasi tetapi juga harus melihat situasi dan kondisi.

e. Hak untuk diterima
Kita perlu diterima seperti halnya kita menerima pihak lain. Untuk dapat menerima orang lain kita perlu menerima bagian diri kita yang tercermin dalam diri orang lain. Kita harus tidak merasa malu atas kelemahan-kelemahan kita. Kita baiknya menerima seseoramg dengan ap adanya, sebab tidak mungkin orang lain akan persis seperti kita.
III. Pribadi yang utuh
Pribadi yang utuh adalha diri atau perseorangan. Sedangkan utuh artinya keseluruhan keadaan. Sempurna,. Jadi pribadi yang utuh maksudnya adalah “seluruh diri seseorang bukan hanya pikiran dan perasaannya, melainkan secara keseluruhan sebagai paduan antara jasmani dan rokhani”. Konsep pengertian sebagai pribadi yang utuh adalah bagaimana kita menjadi seseorang sesuai kemampuan kita. Sehingga dapat dikatakan sebagai pribadi yang berfungsi sepenuhnya.
a. Pribadi yang berfungsi sepenuhnya
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa aktualisasi diri merupakan suatu proses bahwa diri kita adalah diri kita sendiri. Hal ini dapat diwujudkan dengan kita bertindak secara wajar, tidak agresif, dapat memperlihatkan dirinya dihadapan norma-norma yang berlaku di masyarakat seperti :
1. Keterbukaan pada pengalaman
2. Kehidupan eksistensial
3. Kepercayaan
4. Perasaan bebas
5. Kreativitas
Pribadi yang berfungsi sepenuhnya mengalami, menikmati hidup sepenuhnya dan menghargai setiap momen hidup yang dialaminya, fleksibel, tidak takut semua segi kehidupan manusia, bebas, memiliki kepercayaan pada kemampuan sendiri akn kelihatan benar-benar sebagai pribadi yang sepenuhnya berfungsi pada manusia yang paling tinggi.

Kamis, 21 Oktober 2010

Berbagi dengan Sesama.

Sebagai manusia yang di ciptakan dengan akal dan pikiran, manusia harus selalu berpikir dan bertinggkah laku baik dengan sesama. dan yang terpenting adalah selalu berbagi dalah keadaan apapun.